Perubahan MoU Program Makan Bergizi Gratis di Blora: Minta Sekolah Rahasiakan Keracunan MBG
Perubahan MoU Program Makan Bergizi Gratis di Blora: Minta Sekolah Rahasiakan Keracunan MBG
Berita tentang adanya perjanjian kerahasiaan terkait insiden keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Blora baru-baru ini menjadi sorotan publik. Perjanjian tersebut tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan pihak sekolah. Sorotan ini muncul setelah Ketua Komisi D DPRD Blora, Subroto, mengkritik poin-poin dalam perjanjian tersebut yang dinilai memberatkan pihak sekolah dan berpotensi merugikan siswa. Isu ini mencuat saat rapat di DPRD Blora, di mana Subroto secara terbuka menyatakan keberatannya terhadap klausul yang mengharuskan sekolah merahasiakan kasus keracunan dan mengganti biaya alat makan yang rusak dengan nominal tertentu.
Menanggapi kritikan tersebut, Koordinator SPPG Blora, Artika Diannita, memberikan konfirmasi bahwa MoU yang beredar sebelumnya memang dikeluarkan oleh pihaknya. Namun, dia menegaskan bahwa dokumen tersebut telah direvisi total. Revisi ini dilakukan menyusul adanya petunjuk teknis (juknis) terbaru yang diterbitkan oleh Badan Gizi Nasional. Menurut Artika, juknis tersebut tertuang dalam SK Nomor 63 Tahun 2025 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hidayana, per 1 September. Dengan adanya juknis baru ini, semua SPPG di Blora diinstruksikan untuk mengganti MoU lama dengan format yang sudah diperbarui, yang diharapkan dapat mengakomodasi masukan dari berbagai pihak.
MoU terbaru yang dikeluarkan SPPG Blora tidak lagi mencantumkan pasal kerahasiaan insiden keracunan. Poin yang sebelumnya meminta sekolah untuk tidak memviralkan atau mengunggah masalah ke media sosial kini diganti dengan klausul yang lebih fleksibel. Klausul baru tersebut berbunyi: "Apabila terjadi kejadian luar biasa seperti keracunan, ketidaklengkapan, atau kondisi lain yang dapat mengganggu kelancaran pelaksaanaan program ini, maka Pihak Pertama dan Pihak Kedua berkomitmen untuk menyelesaikan secara internal dan menemukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat untuk saling berkomunikasi dan bekerjasama untuk mencari solusi terbaik demi kelangsungan program ini."
Selain perubahan pada pasal kerahasiaan, revisi juga menyasar poin tentang penggantian alat makan yang rusak. Sebelumnya, MoU lama mewajibkan sekolah mengganti Rp 80 ribu jika ada alat makan yang rusak atau hilang. Dalam format terbaru, nominal harga tersebut dihilangkan. Meskipun demikian, sekolah tetap bertanggung jawab untuk mengganti alat makan yang rusak atau hilang sesuai dengan harga alat makan yang bersangkutan. Perubahan ini menunjukkan respons cepat dari SPPG terhadap kritik yang dilayangkan, dan mengindikasikan komitmen untuk memperbaiki pelaksanaan program MBG agar lebih transparan dan adil bagi semua pihak.
Perbedaan Utama: Kerahasiaan versus Komunikasi Internal
Kritik yang disampaikan oleh Ketua Komisi D DPRD Blora, Subroto, berfokus pada dua poin utama yang dianggapnya bermasalah dalam MoU lama. Poin pertama adalah kewajiban sekolah untuk merahasiakan insiden seperti keracunan. Menurut Subroto, klausul ini tidak pantas karena menghambat pengawasan publik dan penyelesaian masalah secara transparan. Dia khawatir jika masalah diselesaikan secara internal tanpa pengawasan, tidak akan ada jaminan bahwa masalah serupa tidak akan terjadi lagi.
Namun, dalam MoU yang telah direvisi, klausul kerahasiaan ini diubah menjadi poin yang lebih mengedepankan komunikasi dan penyelesaian masalah secara internal. Artika Diannita menjelaskan bahwa dalam format terbaru, tidak ada lagi kata "merahasiakan," melainkan ada komitmen untuk menyelesaikan secara internal. Artika menekankan bahwa penyelesaian internal ini bertujuan untuk langsung membawa korban ke layanan kesehatan dan mencari solusi terbaik, bukan untuk menutupi masalah. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran fokus dari upaya menutupi masalah menjadi upaya kolaboratif antara SPPG dan sekolah untuk mencari solusi yang paling efektif.
Perbedaan signifikan lainnya adalah pada pasal penggantian alat makan. Sebelumnya, MoU lama mencantumkan nominal Rp 80 ribu sebagai biaya ganti rugi. Jumlah ini dinilai terlalu memberatkan, terutama bagi sekolah dengan keterbatasan anggaran. Dalam format MoU terbaru, nominal tersebut dihilangkan, meskipun sekolah tetap harus mengganti alat makan yang rusak atau hilang sesuai harga yang berlaku.
Perubahan ini mencerminkan upaya SPPG untuk lebih fleksibel dan adil dalam menjalankan program. Dengan menghapus nominal yang kaku, sekolah memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menyelesaikan masalah kerusakan alat makan. Koordinator SPPG Blora, Artika, menyatakan bahwa revisi ini telah diinstruksikan kepada seluruh SPPI dan menjadi bukti bahwa masukan dari berbagai pihak, termasuk DPRD, diperhatikan dengan serius.
Dampak Perubahan dan Langkah Selanjutnya
Revisi MoU ini diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap program MBG di Blora. Adanya transparansi dan komitmen untuk menyelesaikan masalah secara terbuka menjadi kunci keberhasilan program ini. Pasal baru yang menekankan penyelesaian internal dan kerja sama antar pihak menunjukkan adanya niat baik untuk memastikan program berjalan lancar dan aman. Diharapkan, dengan perubahan ini, setiap insiden yang terjadi, seperti kasus keracunan atau makanan yang tidak layak, dapat ditangani dengan cepat dan tepat.
Saat ini, Koordinator SPPG Blora Artika Diannita telah menginstruksikan seluruh SPPI untuk segera mengganti MoU lama dengan format terbaru. Instruksi ini penting untuk memastikan bahwa semua sekolah yang terlibat dalam program MBG di Blora beroperasi di bawah perjanjian yang sama dan telah direvisi. Artika juga menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada kasus keracunan yang dilaporkan terjadi di Blora, yang menunjukkan bahwa langkah pencegahan dan pelaksanaan program sudah berjalan dengan baik.
Perubahan ini tidak hanya menunjukkan responsivitas SPPG terhadap kritik, tetapi juga mencerminkan dinamika antara lembaga pelaksana dan pihak pengawas seperti DPRD. Kasus ini dapat menjadi contoh bagi daerah lain tentang pentingnya kerja sama dan komunikasi terbuka dalam menjalankan program pemerintah. Kritik yang konstruktif dari pihak pengawas dapat membawa perbaikan signifikan dan memastikan program berjalan sesuai dengan tujuannya.
Dengan adanya MoU yang telah direvisi, diharapkan pelaksanaan program MBG di Blora akan berjalan lebih baik, lebih transparan, dan dapat memberikan manfaat maksimal bagi siswa. Keterlibatan semua pihak, mulai dari SPPG, sekolah, hingga pihak pengawas seperti DPRD, menjadi kunci untuk memastikan kualitas dan keamanan program ini.
